Orang tua lulusan SD: Leh Ugha!


Waktu masih siswa menengah atas, ya karena sekolah saya cukup favorit, saya menemukan banyak sekali dari teman-teman yang keluarga nya dari lingkungan orang berpendidikan. Pokoknya sarjana gitu lah. Dan terjadi di hampir seluruh teman saya.
Setiap keluarga teman saya itu memiliki pekerjaan sesuai gelar sarjana nya. Misal S.Pd: sudah pasti sebagai guru, S.Kom: terkadang jadi tim IT suatu institusi, S.IIP: yang ini pasti di perputakaan daerah atau di pengarsipan daerah, S.Sos: yang ini biasanya di kantor pemkab bagian humas, S.Ip: kemarin barusan nyaleg, dan seterusnya. Bahkan tak sedikit saya jumpai bergelar Magister.
Wah, dalam pikiran saya "Enak dong, pasti di setiap hari subsidinya terpenuhi". Bagaimana tidak enak, la misal anaknya kurang pintar matematika, ibunya pasti gerak cepat melemparkan anaknya ke bimbel. Anaknya kelaparan lantas diberikan konsumsi super komplit 4 sehat 5 sempurna. Akan dengan mudah dibelikan suatu barang yang menunjang sekolahnya seperti laptop, sepatu, Hp paling mutakhir, dan lain-lain.
Ya jelas beda sekali dengan keluarga yang riwayat pendidikan nya rendah. Mereka tidak akan mengenal apa itu bimbel, mereka pun tak akan mencoba memikirkan kandungan gizi tiap makanan. Yang penting bersih, sederhana, dan enak. Bahkan mereka pun tidak akan mau membelikan fasilitas sekolah, yang sekarang saya rasa sangat penting. Dengan lugasnya mereka bilang "Buat apa beli laptop?!, masih SMA aja kok macam macam", "Olahraga aja kok minta sepatu baru, pakai tuh sepatu mu sekolah". Mak kruntel atiku buk~
Dalam hati, saya tak hentinya berdecak kagum dengan status sosial keluarga teman saya yang tinggi itu. Saya pun bersyukur memiliki teman seperti mereka ini. Mereka (menurut saya) memiliki jiwa yang kritis dan haus akan ilmu. Mungkin ya mungkin, itu karena keturunan dari seorang yang berilmu atau gimana tak tahulah saya bujank!. Sejujurnya, saya sendiri lebih bersyukur karena berteman dengan mereka, saya memiliki 'Circle' yang baik. Baik dalam artian haus akan darah ilmu tadi.
Saya sendiri dilahirkan dari keluarga yang berkecukupan dan kedua orang tua saya tak mengenal sekolah. Beliau keluaran sekolah dasar dan belum tamat. Yap, kontras memang antara saya dan teman-teman saya diatas.
Bapak saya memiliki usaha mebel (eh bapak saya bukan jokowi loh ya, bukan!) yang dikelolanya sendiri dan ibu saya sebagai pendamping bapak. Namun demikian, beliau tak pernah sesekali barang bertanya tentang sekolah saya. Hanya ketika saya bercerita tentang ujian, beliau lantas berkomentar "Gitu, lha soal nya sulit apa mudah le?". Sama halnya dengan bapak, ibu pun malah lebih cuek lagi.
Bahkan saya 'hampir' saja tidak masuk ke taman kanak-kanak padahal umur saya sudah 6 tahun waktu itu. Karena ketidaktahuan ibu saya. Ibu saya rajin membawa saya ke puskesmas untuk imunisasi waktu itu, pada akhirnya tetangga saya lah yang memberi tahu ke ibu. Ya elah buk buk.
Rasa rasanya waktu masuk ke sekolah dasar, saya pun direkomendasikan oleh Bu Guru TK saya dan bukan dicarikan sekolah oleh ibu saya. Sekolah menengah pertama pun saya mencari dan memilih sendiri. Begitu pun juga di sekolah menengah atas. Tak pernah sekalipun ibu ikut campur dalam pilihan saya tersebut. Beliau hanya berpesan "Pilihlah yang kamu suka". Beda cerita dengan teman saya yang dipaksa orang tua nya agar masuk SMP favorit dan SMA favorit. Semua karir pendidikan kujalani tanpa tekanan sedikitpun dari orang tua saya. Aku selow~
Akibatnya saya terus menerus masuk disekolah favorit yang diidamkan kalangan ibu-ibu yang lebih 'mudeng' bab 'nyekolah'. Sementara anak mereka yang juga seperjuangan dengan saya pun hanya masuk di sekolah yang notabene nggk beken atau sekolah 'kaporit'. Dari sini dengan riset tak akurat saya mulai menyimpulkan bahwa begitu tekanan itu sangat mempengaruhi akademik seseorang.
Ketika di rumah kegiatan saya hanya mendengarkan alunan merdu gergaji kayu sepanjang hari sambil mainin gawai. Sering saya berkunjung ke rumah teman SMP saya. Namun, tak jarang saya hanya menemukan aksi 'otoriter' ibu nya. Saya berkunjung diwaktu yang salah, waktu mereka belajar, waktu mereka les privat, dan kegiatan 'nyekolah' lainnya.
Selalu keadaan berbeda yang saya dapati disetiap jenjang pendidikan antara saya dan teman saya. Sampai suatu ketika saya akan lulus dan waktunya mendaftar ke sekolah menengah atas. Di titik dimana teman-teman sudah tetap dengan pendirian orang tua nya. Ada yang disuruh masuk jurusan IPA dan beberapa IPS, saya pun memilih jurusan yang anti-mainstream. Bahasa. Teman sebangku saya pun heran mengerutkan dahi, "Mau jadi apa masuk jurusan Bahasa?". "Sulit lho nanti masuk ke perguruan tinggi". Diremeh temehkan pilihan saya yang berdasarkan hati nurani ini.
Saya pun berkonsultasi ke orang tua. Dan benar saja lho gess, mereka meng'iya'kan dengan segenap kepercayaan mereka. Ah suka sayaa.
Saya pun mulai berpikir, kenapa beliau berbeda dengan deretan orang tua lainnya. Di sekolah menengah atas saya menjumpai yang lebih ekstrim lagi. Beberapa teman saya tidak diberi kebebasan untuk bahkan 'main' keluar rumah diwaktu tertentu.
Ditengah kegalauan saya memikirkan perbedaan, saya menyimpulkan beberapa hal. Yang pertama: orang tua saya berpikiran sederhana (nggak muluk-muluk). Yang kedua: karena mereka murni tidak tahu menahu perihal sekolah. Yang ketiga: mereka menaruh kepercayaan yang besar kepada saya dan sangat menjunjung tinggi hobi saya.
Berbeda dengan teman-teman saya yang rasanya 'dikendalikan' oleh orang tua dan dikekang keinginan tersembunyi lubung hati terdalam mereka. Padahal lebih berpendidikan lho mereka itu, yang notabene lebih mengetahui anaknya.
Ilmu kedisiplinan begitu diterapkan dirumah oleh orang tua saya. Eits bukan disiplin ilmu. Namun disiplin ibadah, sopan santun, nyapu, cuci piring, cuci baju, membagi waktu. Kombinasi epic antara sekolah dan di rumah membuat saya jadi pribadi yang berilmu dan berkarakter baik. Setidaknya itu yang guru SMA saya bilang.
Ya tidak buruk juga memiliki orang tua yang tamatan-SD-rungjangkep itu. Beliau mengajarkan hal lain selain mengerjakan buku BKS sekolah, beliau mengajarkan lebih dari yang dilakukan orang berpendidik lainnya. Beliau mengajarkan cinta kasih antara orang tua dan anak tanpa menuntut kesempurnaan. Kelak hubungan seperti itu akan membuahkan hasil kesempurnaan itu sendiri.

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer